Sunday, July 29, 2007

PARENTS AS A ROLE MODEL

Dalam obrolan ringan diantara ibu-ibu muda, terucap bahwa menjadi orangtua itu susah-susah gampang. Mungkin benar juga, walau kadang saya pikir kayaknya lebih banyak beratnya dech, hehehe... Berat karena tanggungjawab menjadi orangtua itu luar biasa sulit, tetapi menjadi gampang kalo kita enjoy dalam menjalani peran sebagai orangtua. Anak itu kan bagaikan kertas putih, sedikit saja kita salah “menggoresnya”, tentu tak semudah membalikkan tangan untuk mengoreksi kesalahan itu (waks, makin ngejelimet aja kata2 saya, tenang... tenang... sabar dulu ya bacanya, hehehe...).

Di antara tanggungjawab sebagai orangtua, salah satunya adalah menjadi role model (contoh/ panutan/ teladan) yang baik untuk anak. Yang belum punya anak, mungkin akan membatin: “Ah, gitu aja kok repot...” Tinggal tunjukin gimana berperilaku yang baik, ajari anak, beres. Tapi kenyataannya, ternyata gak se-simple itu. Betul gak, para ortu???

Lanjut lagi yaks...
Ketika seorang bayi baru saja hadir di dalam rahim ibu, suara yang paling sering ia dengar jelas adalah suara sang ibu. Tentu saja karena selama 9 bulan sang bayi terus berada dalam hangatnya rahim bunda, ia juga dapat merasakan perasaan yang berkecamuk pada diri ibunya. Makanya gak heran sejak hamil, ibu harus bisa mengontrol emosinya, selain baik untuk proses kehamilannya juga sangat berperan terhadap perkembangan janin. Dalam kandungan pula, bayi sudah bisa diberi stimulus berupa suara atau pun gerakan/usapan lembut. Sambil mengelus perutnya, ibu bisa “bercakap-cakap” dengan sang bayi, menyenandungkan lagu-lagu indah, membacakan kalam suci, bersalawat, dst. Jalinan komunikasi yang terbangun inilah yang menjadi awal kedekatan ibu dan anaknya kelak. Dan sejak dalam kandungan pula, ibu sudah menjadi role model anaknya.

Setelah terlahir di dunia ini, lagi2 manusia pertama yang paling sering bersama sang bayi adalah orangtuanya, terutama sang ibu. Sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa orangtua adalah role model pertama bagi anak. Di usia awal kehidupannya, bayi merekam semua dan apa saja yang ada di sekitarnya. Kemudian dengan semakin bertambahnya usia, bayi pun mulai meniru.

Segala tingkah laku kita akan dengan mudah ditirunya, mulai dari gaya bicara kita, gaya hidup kita, bagaimana kita bertingkahlaku, sampai bagaimana kita memperlakukan oranglain, semua akan terekam dalam benak anak dan akan dituangkan dalam wujud nyata perilakunya. Maka tidak heran jika ibu yang mudah mengumbar omelan dan caci maki, maka anaknya pun akan menjadi anak yang pemarah dan temperamental. Saya jadi ingat tulisannya Dorothy Low Nolte :

Dari Lingkungan Hidupnya Anak-anak Belajar…

Jika anak banyak dicela, ia akan terbiasa menyalahkan.
Jika anak dihantui ketakutan, ia akan terbiasa merasa cemas.

Jika anak serba dimengerti, ia akan terbiasa menjadi penyabar.
Jika anak banyak diberi dorongan, ia akan terbiasa percaya diri.
Jika anak banyak dipuji, ia akan terbiasa menghargai.

Jika anak diterima oleh lingkungannya, ia akan terbiasa menyayangi.
Jika anak diperlakukan dengan jujur, ia akan terbiasa melihat kebenaran.
Jika anak mengenyam rasa aman, ia akan terbiasa mengandalkan dirinya dan mempercayai sekitarnya.

Sungguh Indah Dunia Ini!
Bagaimanakah anak Anda?

Sebenarnya, menjadi role model bagi anak adalah bagian yang tak terpisahkan dari tugas mendidik para orangtua kepada anak2nya. Secara alami, tanpa diminta pun, anak akan berkembang mengikuti apa yang telah dicontohkan orangtua dalam kehidupan sehari-harinya. Sayangnya, tidak semua orangtua menyadari betapa pentingnya tanggungjawab ini. Sehingga gak heran, kini semakin banyak lahir “produk2 didik yang tidak utuh”. Generasi yang tak kenal tata krama, semau gue, anti sosial, egois, maunya yang serba instan/ tersedia dengan cepat, tak punya daya juang, dst. Hiiiiiiyyyy....baru ngetiknya aja sudah bikin bulu kuduk merinding. Bayangkan jika anak kita termasuk dalam generasi itu, na’udzubillah! Sungguh gak rela kan. So, kayaknya kali ini kita harus mulai “berbenah”diri. Bagaimana kita ingin anak kita menjadi anak yang jujur, jika di depan matanya saat telepon berdering ada yang mencari kita, lalu kita berkata “Bilang, mama gak ada!” tuh kan, tanpa sadar anak telah diajari cara berbohong. Dst, pasti banyak banget berbagai macam contoh perilaku kita yang gak baik, yang sebenernya gak ingin kita “tularkan” pada anak2 kita, ‘tul gak ibu2 en bapak2???

Tambah lagi, orangtua masa kini menghadapi tantangan yang tidak ringan. Mata, telinga dan hati anak-anak kita kini didera suguhan budaya hedon dan permisif, adegan kekerasan dan seks, serta krisis moral. Kayaknya dari televisi juga media yang lain lebih banyak berisi hal2 “sampah” tsb, mulai dari gosip, acara kriminal dengan darah dan adu tembaknya, film2 horor, belum lagi bejibunnya tayangan sinetron yang gak mendidik, para pelajar yang baru smp/ smu malah sudah sibuk pacaran, tongkrongannya mercy pula, hpnya keluaran terbaru, pake bajunya merk terkenal, gaya hidupnya seputar pesta, cafe, hotel, mall, dst, kayaknya gak pernah belajar, sekolah cuma jadi setting tempat aja... pokoknya gaya2 manusia di atas langit yang gak merakyat di zaman ekonomi sulit ini. Tapi sekedar “membuai” para remaja untuk ikutan bergaya seperti itu padahal untuk makan aja orangtuanya sudah kembang-kempis, si anak tetap aja ngotot harus punya hp demi slogan ikutan tren, “zamaaan giniii, gak punya hp...” (eh sori dori mori mpok nori...jadi latah saking sebelnya ama tayangan sinetron abg saat ini... someday jd pengen nulis tentang itu, mungkin judulnya “Beri Tontonan Sehat untuk Buah Hati Kita”, hehehe...).

Back to our topic... Karena itulah untuk menghadapi tantangan zaman seperti tsb di atas, mulailah dari diri sendiri untuk lebih “aware” dalam mengkonsumsi apa pun, baik tontonan, makanan sampai tingkahlaku. Maksudnya??? Jika ingin menyeleksi apa2 yang dikonsumsi anak, mulailah dari diri kita misalnya gak nonton acara2 gak layak untuk anak2 saat anak ikut menonton di samping kita, tunggulah sampai mereka tidur. Kalau ingin anak makan sayur, mulailah dari kita yang terlihat lahap makan sayur. Kalau ingin anak kita berperilaku santun terhadap orla, mulailah dari kita yang selalu mengucapkan terimakasih pada si mbak di rumah dan orla yang menolong kita, juga meminta maaf pada anak saat kita berbuat salah pada anak. Jika kita ingin anak tersenyum, cobalah kita yang tersenyum lebih dulu. Jika tidak ingin anak2 bertengkar, perlihatkan kekompakan kita dengan pasangan. Dst. Mengikuti nasihat dari ‘Aa Gym, “Mulailah dari diri sendiri, mulailah dari yang kecil dan mulailah saat ini.” T.O.B banget kan? Emang sih, untuk kebiasaan yang udah mendarah daging, awalnya pasti sulit, tapi buat anak, apa pun akan kita lakukan, ya kan? Setujjjuuuuuuuuu.........???????

Inget lagi kata2 ‘Aa Gym, “ Memiliki anak bukanlah suatu prestasi. Tapi menjadi teladan anak, itu baru prestasi!” Tentu menjadi kebahagiaan tak terhingga melihat anak2 kita tumbuh menjadi generasi yang lebih baik dan bermanfaat bagi masyarakat. Dan semua itu insya Allah dapat terwujud melalui ikhtiar/usaha kita menjadi orangtua yang baik dengan menjadi teladan anak. Kita tak bisa menuntut orla berubah, jika kita sendiri tidak mau mengubah diri. Anak2 memiliki kepekaan yang tinggi, sehingga mereka bisa merasakan bagaimana usaha orangtuanya memperbaiki diri. So, tunggu apa lagi? Do what we can do, right now!! Be Parents as A Role Model For Our Children! (END)

(Home Sweet Home, 18 Juli 2007)
Maap kalo bhs inggrisnya ngaco2, hehehe...

SAAT IBU HARUS MEMILIH

Seorang wanita secara fitrah memiliki naluri kewanitaan yang lembut dan penuh kasih sayang. Setelah mengikat janji dalam pernikahan yang suci, pastinya ada keinginan untuk segera memiliki buah hati tersayang, walaupun ada juga yang masih ingin menunda karena suatu hal. Dan ketika saat itu tiba, ketika dalam rahim menunjukkan tanda-tanda kehidupan, kebahagiaan yang tak terhingga bagi wanita mulai menggelora dalam dada. Hari demi hari berlalu dan perut pun semakin membesar, seiring itu pula calon ibu mulai mempersiapkan segala hal untuk bayinya yang akan lahir. Dan akhirnya sang bayi pun terlahir ke dunia. Semakin lengkaplah kebahagiaan menjadi wanita seutuhnya.

Hari-hari bersama bayi mungil di hari-hari pertama kehidupannya adalah fase-fase penuh pembelajaran. Bayi belajar untuk bernafas dengan hidungnya sendiri, tidak lagi tergantung pada ibunya seperti dalam rahim dulu. Ketika lapar, tak ada lagi tali pusat ibu tempat menyalurkan makanan, bayi pun harus belajar menyusui, bagaimana mengisap dengan benar, dst. Dan bagi ibu baru, memiliki seorang bayi (apalagi jika anaknya kembar), juga menimbulkan kekhawatiran tak bisa memberi yang terbaik untuk sang buah hati. Saat itulah peran suami dan keluarga besar sangat dibutuhkan untuk mendampingi sang ibu baru, belajar menjadi ibu sesungguhnya. Sehingga di awal2 pemulihan ibu paska melahirkan, ia pun bisa mempersiapkan diri menjadi ibu, beradaptasi dengan perannya yang baru, menikmati saat-saat berharga bersama si kecil yang begitu mungil dan menggemaskan. Dengan begitu, sang ibu baru pun tak sampai mengalami baby blues apalagi sampai mengalami depresi paska melahirkan.

Bagi wanita bekerja, saat cuti mulai usai, timbul dilema yang baru, yakni pilihan untuk menjadi ibu dan tetap bekerja atau melepas karir dan sepenuhnya mengasuh sang buah hati. Pilihan yang sama sulitnya, karena keduanya tentu memiliki konsekuensi yang sama beratnya. Antara kebutuhan untuk mengaktualisasi diri dan mendapatkan income sendiri atau menjadi full time mother agar si kecil cukup mendapat kasih sayang dan pengawasan, terlebih jika kita tak punya seseorang yang dapat diandalkan untuk mengasuh sang buah hati.

Pada akhirnya, apa pun pilihan ibu, yakinlah bahwa pilihan itu adalah yang terbaik. Setiap orang memiliki kondisi hidup yang berbeda, jadi yang terbaik untuk Anda belum tentu yg terbaik untuk oranglain, begitu pula sebaliknya. Jadilah dirimu sendiri, kenali dirimu dan berikan yang terbaik. Ibu tak perlu merasa sedih karena memilih tetap bekerja, karena Ibu masih tetap bisa menjadi ibu yang baik dan sukses berkarir meski tak sepenuhnya mendampingi si kecil. Saat ibu bekerja, harus ada orang yang dapat diandalkan untuk mengasuh sang buah hati. Sebaliknya, kalau Ibu sepenuhnya menjalani peran di rumah, bukan berarti harga diri Ibu berkurang(merasa minder) dan malah menjadi semakin terperosok karena tidak memiliki profesi dan penghasilan sendiri. Ingatlah, Ibu akan mendapatkan kebahagiaan tersendiri menikmati hari-hari berharga sepenuhnya bersama si kecil. Bukankah Anak adalah harta yang paling berharga? Merawatnya dengan sepenuh cinta kasih akan membantunya tumbuh berkembang dengan optimal, dan tumbuh menjadi anak yang percaya diri karena ia dicintai.

Keberhasilan menjadi Ibu bukan tergantung pada cukup tidaknya waktu yang diberikan pada anak. Sebaliknya aktualisasi diri juga tak harus dicapai melalui kerja full time di kantor. Ibu yang sukses, baik yang bekerja atau di rumah, adalah mereka yang menjalani perannya dengan target dan manajemen yang baik dan benar serta menjalin kedekatan yang optimal dengan sang buah hati. Setujuuuuuuuuuu???????? (END)

(Home Sweet Home, 15 Juli 2007)
dari seseorang yg sdg belajar mjd ibu

KARIER SANG IBU RUMAH TANGGA

Ibu rumah tangga seringkali diidentikkan dengan wanita-wanita berdaster yang sibuk dengan urusan dapur, cucian, pekerjaan rumah tangga dan anak2, yang waktu2 senggangnya diisi dengan nonton telenovela/sinetron sampai ngerumpi dengan tetangga. Entah kenapa bagi saya pribadi, stereotif itu terasa “merendahkan”, dan karena begitu santernya digaungkan dalam berbagai media massa seperti TV, majalah, dll, akhirnya menimbulkan efek psikologis bagi wanita yang telah menikah yakni merasa minder jika memilih peran sebagai full time mother. Sehingga banyak wanita2 berpendidikan tinggi emoh dengan peran tsb, karena lebih bergengsi menjadi wanita karir. “Toh, anak-anak akan mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik dengan kedua orangtuanya bekerja. Bisa mendapatkan pendidikan yang lebih baik, dst.”
Sebenernya gak ada yang salah dengan pilihan untuk jadi wanita bekerja atau full time Mother, selama kita "bertanggungjawab" dg pilihan kita itu (baca dulu dech: "Saat Ibu Memilih").

Saya hanya merasa “gerah” dengan imej ibu rumah tangga seperti yang sebutkan di atas, yang memberi kesan bodoh. Apakah ibu-ibu yang waktunya lebih banyak di rumah tidak bisa mengaktualisasikan dirinya sesuai pendidikan, kemampuan dan keahliannya? Apakah ibu rumah tangga hanya berkutat dengan urusan dapur-perut-rumah-anak saja? Padahal di negeri tercinta ini, ibu rumah tangga masih merupakan profesi dengan prosentase yang cukup besar, jadi juga sama-sama memegang peranan dalam masyarakat.

Esensi dari seorang ibu rumah tangga atau bahasa kerennya Full time Mother, adalah bagaimana seorang ibu berusaha “sepenuhnya” mendedikasikan waktunya untuk keluarga. Sepenuhnya bukan berarti seluruh denyut kehidupannya adalah untuk keluarga saja, tapi juga ada kesimbangan antara kebutuhan ibu sebagai diri pribadi, yang butuh aktualisasi, butuh belajar/menuntut ilmu, menekuni hobi, dst, dengan memenuhi kewajibannya sebagai ibu. Nah lho, bingung gak?

Isma’il Raji A-Faruqi berkata: “Karier sebagai ibu rumah tangga menuntut pendidikan yang sama atau malah lebih dibanding karier apa pun di luar rumah. Karena karier mulia ini bersangkutan dengan tugas merawat manusia, tua dan muda, dan ini adalah pekerjaan yang paling sulit di dunia.”

Sebenernya kalau dilihat-liat lagi, para ibu rumah tangga itu sendirilah (secara sadar gak sadar) telah membiarkan dirinya menjadi seperti stereotif media. Ibu membiarkan penampilan dirinya asal2an, malas belajar dan meng-upgrade dirinya. Lebih senang menghabiskan waktu luang dengan bersantai-santai, menonton tv sampai ngerumpi. Akhirnya karena pola tsb dibiarkan berulang sehingga menjadi kebiasaan. Karena terjebak rutinitas tsb, Ibu menjadi “lupa” bahwa sebagai seorang ibu, istri dan menjadi wanita seutuhnya membutuhkan proses belajar yang berkesinambungan (Long Life Learning).

Belajar disini, bukan sekedar belajar dalam pendidikan formal, tapi belajar dalam konteks “memperkaya” diri kita, baik secara spiritual, intelektual dan perbaikan tingkahlaku. Bagaimana kita dapat senantiasa menambah wawasan dengan banyak membaca, menambah ketrampilan/keahlian dengan mengikuti kursus, sekolah lanjutan atau pun belajar otodidak. Kita bisa belajar dari apa yang terjadi pada diri kita maupun mengambil hikmah dari pengalaman oranglain. Dan yang lebih penting adalah bagaimana kita belajar dari kehidupan itu sendiri, belajar dalam proses kita menjadi seorang wanita, menjadi istri, menjadi seorang ibu, belajar untuk mengenali diri kita sehingga kita tahu apa potensi terpendam kita.

Dalam suatu episode Oprah Show, Oprah mengajak kita melihat beberapa ibu rumah tangga yang menjadi milyuner karena memahami potensi dirinya dan pandai melihat peluang. Mereka menjadi pebisnis sukses yang berawal dari rumah. Sambil mengembangkan usahanya, para ibu itu tetap dapat mengurus anak2nya dengan baik. Dalam episode Oprah lainnya, seorang ibu rumah tangga dengan 8 anak sukses menggunakan metode homeschooling, tanpa ilmu dan wawasan yang luas mustahil ibu itu mampu menjadi guru anak2nya. Ada juga ibu2 yang begitu kreatif, di sela2 menunggu waktu anak pulang sekolah, ia membuat hiasan bantal, tas, dll dan omset penjualannya cukup fantastis. Ada ibu yang total menjadi full time mother, setelah anak2nya cukup besar, ia kembali berkarier, membuat buku tentang pengalamannya menjadi ibu dan sukses menjadi pembicara di berbagai event. Ada juga ibu yang rutinitas mengantar-jemput anaknya mengilhami bisnis antar jemput, akhirnya dengan tambahan beberapa mobil, kliennya bisa mencapai ratusan anak. Dan sebenarnya masih banyak lagi cerita kesuksesan para ibu rumah tangga yang mampu memanfaatkan potensi dirinya dan peluang yang ada. Menjadi ibu rumahtangga bukannya semakin terperosok dalam kestagnanan. Begitu banyaknya yang dapat kita lakukan jika kita “mau” bergerak. (END)

(Home Sweet Home, 19 Juli 2007)
Dari seseorang yg sdg belajar menjadi ibu...