Monday, October 22, 2007

KETIKA IBU PERGI HAJI

Waahh…seminggu lagi ibu akan pergi ke Mekkah naik haji..berarti sebentar lagi aku akan menjelang kebebasankuu!!! Cihuyyy!!! Aku tak akan mendengar kebawelan ibu, aku tak perlu lagi misuh-misuh sendirian di kamar mandi atau bangun pagi-pagi sekali untuk mencuci pakaian yang seabrek-abrek. Saking gembiranya aku tak sadar ibu sedang memperhatikanku senyum-senyum sendiri. “Ngapain kamu senyum-senyum sendiri kayak orang gila! Tuh, air penuh, sayang kalau kebuang-buang!” ibu mengingatkanku dengan ketus…biasa…gaya khas ibu. Huuh.. ibu, gak bisa melihat orang lagi senang.

Sudah banyak rencana yang kurancang di kepalaku untuk mengisi hari-hari selama ibu tak ada di rumah. Ibu akan pergi selama 40 hari, rasanya cukup untuk menikmati kebebasan..huaahh…rencana pertama, aku ingin tidur setelah shalat shubuh sampai puasss…, lalu aku akan jalan-jalan ke rumah teman-temanku, kemudian aku ingin…ini..itu… banyak sekali mauku hingga aku pusing sendiri. Ahh..sudahlah nanti saja kupikirkan kalau ibu sudah berangkat. Lulus kuliah memaksaku harus pulang ke rumah, tak ada lagi tinggal di kos-kosan yang artinya tak ada lagi kebebasan. Di rumah, setiap hari aku harus menghadapi omelan-omelan, teriakan-teriakan dan segala kecerewetan ibu. Waktu aku masih di SMU, tiada hari tanpa bertengkar dengan ibu. Entah aku yang menyebalkan atau ibu yang memang sangat cerewet. Setelah aku kuliah aku menyadari mungkin itu adalah masa-masa remaja yang paling menyebalkan, pengaruh hormon. Semenjak kuliah, aku pisah dari ibu, tinggal di kos-kosan. Sungguh mengherankan, aku jarang bertengkar dengan ibu bahkan sering kangen dengan kecerewetannya. Kini, aku pulang lagi ke rumah. Sudah 2 bulan aku tinggal di rumah, ternyata ibu tak pernah berubah, still cerewet dan cuek.

Ibuku jauh dari tipe seorang ibu yang lembut, sabar dan suka memuji. Ibuku tak pernah basa-basi, kalau bicara nadanya kasar, hobi marah-marah, tetapi kalau mencela orang paling jagonya. Biar bagaimanapun, ibu tak pernah lalai dari tanggung jawabnya, bahkan sangat ketat dalam peraturan. Pernah sekali waktu kulihat kakakku yang pertama dipukuli ibu karena ketahuan jalan-jalan dengan seorang cowok… kata ibu jadi anak perempuan gak boleh gatel, centil and genit. Aku mempunyai 3 orang kakak. 2 perempuan satu laki-laki. Seiring waktu berjalan, ibu semakin kendur dalam memberlakukan aturan boleh tidaknya berpacaran. Kakakku yang ketiga tomboy sekali, maka itu ibu tak khawatir ia akan bermain-main dengan laki-laki. Sedangkan aku sendiri lebih banyak teman cowok daripada pacar. Mereka semua hanya teman. Ibu kelihatan semakin longgar terhadap adikku. Mungkin ibu sudah capek melarang kami agar tidak berpacaran. Yang sungguh mengherankan adalah perlakuan ibu sangat berbeda kepada 5 anak-anaknya. Ibu memang canggih, dia benar-benar memperlakukan kami sesuai karakter kami. Dulu, aku sering iri dan kesal pada adikku karena ibu begitu lembut padanya. Tetapi, seiring berjalannya waktu, aku mengerti kenapa ibu begitu berbeda memperlakukan aku dengan adikku. Adikku memang berwatak keras, kadang tak mau kalah, maka takbisa dilawan dengan kekerasan. Sedangkan ibu begitu disiplin dan keras dalam mendidikku dan kakak-kakakku. Hasilnya, kita memang jadi lebih tahu tanggung jawab masing-masing. Dibalik ketegasan dan cenderung kasarnya kata-kata ibu, tersimpan cinta yang begitu besar kepada anak-anaknya. Oh ya, kembali lagi ke rencana yang telah kususun bila ibu pergi haji. Aku masih sibuk dengan pikiranku, hingga tak terasa tiba hari H ibu berangkat haji.

Aneh, kukira aku akan merasa super senang ketika melepas kepergian ibu, ternyata aku menangis sedih juga ketika melepas ibu. Ibu sih, masih senyum-senyum saja. Kelihatannya ibu memang sudah sangat menantikan bertamu ke rumah Allah, wajahnya begitu ceria. Sebelum berangkat, dengan style-nya , ibu tetap memberi perintah apa saja yang harus kulakukan selama ibu tak ada di rumah. Yah, ternyata segala rencana yang kususun keliatannya harus buyar, karena ibu mengharuskan aku yang mengambil alih tanggung jawabnya selama ibu tak di rumah……hhhhhh….. well..there’s nothing I can do about it, at least aku tak akan mendengar omelan-omelan ibu.

Akhirnya hari kebebasan itu tiba, hoaahhmmm…. Masih jam 5 pagi, sudah shalat shubuh, aku sudah niat akan tidur lagi, bangun sekitar jam 6-an, baru berangkat ngantor. But, brak…brak… kedamaian itu telah buyar, adikku memintaku menyetrika bajunya. Waduuhh… bete sih, tapi apa boleh buat!!! Kuuurungkan niatku untuk tidur lagi, karena ayahku mengingatkanku untuk mencuci baju dan menyiapkan sarapan, waduh hampir lupa, aku juga harus beli sayuran dan lauk-pauk, oh my GoD!!!! Hampir lupa, every weekend, aku juga harus masak….!!! Gawat, sepertinya no more freedom nih.

Hari-hariku jadilah kuisi dengan berbagai rencana apa saja yang harus kulakukan setiap hari dan harus memasak apa dengan budget yang ditinggalkan ibu, cukup gak cukup harus cukup. Tak pernah kupikirkan sebelumnya, betapa pusing menjadi seorang ibu, a leader sekaligus an accountant, manager and… chef!!! …. Wuiiih….. baru seminggu ditinggalkan ibu, aku hampir saja give up.. tapi mau give up ke siapa???.. ibu sudah memberikan mandatnya kepadaku… dan baru kali ini aku merindukan kehadiran ibu, kecerewetannya, kegalakannya, kecuekannya, ohh..ibu, menelpon saja jarang…. Kelihatannya ibu sangat bahagia di sana. Dan akhirnya, aku sadar, betapa sulit menjadi ibu ibu yang perfect tentunya. Hingga 40 hari, aku benar-benar belajar bagaimana mengatur rumah tangga, itupun dengan bantuan adik dan kakakku. Sedangkan ibu, she did it alone, only by herself. Ibu, maafkan aku yah, selama ini selalu menyusahkan ibu dan jarang menghargai usaha ibu.

Empat puluh hari sudah lewat, akhirnya ibu pulang, dengan suka cita kusambut ibu, suka cita yang sesungguhnya. Wajah ibu begitu ceria bersinar. Ibu sampai kebingungan sendiri melihatku menyambutnya dengan penuh suka cita. “lho, bukannya kamu seneng ibu gak di rumah??””, hahahha, sungguh menohok perkataan ibu, tapi kubilang bahwa aku kangen semua yang ada pada ibu, seluruh paket yang ada di ibu, baik kecerewetannya, kebawelannya, atau kepiawannya memasak. Sekali lagi, I can’t live without my mom, and aku tak akan menjadi begini kalau bukan kasih sayang ibu yang tersembunyi dibalik ketegasannya. Welcome home ibu……

Thursday, September 20, 2007

MERASAKAN KEHADIRAN ALLAH


Ketika kita merasakan kehadiran Allah, secara otomatis kita akan menyadari bahwa Allah sedang mengawasi kita. Tentunya saat diawasi, kita tidak akan bernmiat apalagi sampai melakukan maksiat sekecil apa pun karena malu pada Allah yang senantiasa memperhatikan tindak-tanduk kita.

Bang Napi berkata: "kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat tetapi juga karena ada kesempatan". Siapa sih orang yang terang-terangan berbuat maksiat jika tahu ia sedang diawasi? Tak mungkin seorang murid berani mencontek saat ujian jika tahu guru yang mengawasinya sangat ketat dalam mengawasi murid-muridnya. Siapa yang nekad tidak pakai helm dan tidak memiliki kelengkapan surat jika tahu saat itu polisi lalu lintas sedang mengadakan razia. Kesempatan-kesempatan yang ada, bisa jadi tercipta karena merasa tiada yang melihat/mengawasi perbuatan kita. Sehingga kesempatan yang sekejab saja pun bisa memuluskan jalan maksiat kita, seperti pencopet yang berhasil mengambil dompet seorang ibu di tengah keramaian orang di pasar juga saat si pemilik pun lengah. Akhirnya pengawasan menjadi salah satu faktor yang dapat mengurangi kejahatan dan kemaksiatan, sehingga wajar jika manusia pun akhirnya bergantung pada faktor pengawasan untuk menjaga disiplin dan kelurusan bertindak. Lebih karena takut akan terkena sangsi atau hukuman.

Di sebuah hypermarket, seorang bapak muda yang mendorong troli berisi beragam kebutuhan pokok, di depan troli duduk anaknya yang masih batita. Dengan santainya sang bapak mengambil seraup lengkeng ke dalam saku celananya. Dari penampilannya terlihat bahwa sang bapak termasuk dari golongan keluarga menengah ke atas, sehingga ia sebenarnya mampu membeli, tapi entah kenapa ia tak merasa berdosa mengambil barang bukan miliknya, sekedar iseng, untuk icip-icip di jalan nanti. astaghfirullah...

Kebanyakan manusia percaya pada pengawasan kasat mata, sedangkan lupa pada kehadiran pengawasan Allah SWT. Kita lebih merasakan pengawasan-Nya terhadap hal-hal yang bersifat ibadah mahdhoh seperti puasa, shalat, dll. Kita tetap bisa menahan diri dari dahaga tenggorokan hingga detik-detik bedug berkumandang, karena takut puasa kita batal dan tidak diterima jika kita meneguk air sebelum adzan bergema. Begitu pula saat shalat, tidak ada yang melakukan shalat isya 3 rakaat misalnya karena menyadari Allah mengawasinya. Tapi anehnya, saat bekerja dan mendapatkan uang yang bukan haknya, apakah uang suap, dll, ia lupa akan pengawasan Allah. Begitu pula saat sedang berpuasa, dan mulut pun asyik menggunjingkan orla, ia pun lupa akan pengawasan Allah.

Tidak ada yang dapat meminimalkan maksiat dan dosa kecuali dengan meneguhkan kehadiran Allah dalam setiap gerak langkah kita, kapan pun, dimana pun, baik di saat sendiri (yang banyak memberi kesempatan dan peluang untuk bermaksiat) mau pun di tengah keramaian. Dalam setiap kondisi tidak ada bedanya bagi seorang mukmin, dia akan berpikir, berkata dan bertindak lurus tanpa cela karena tahu Allah bahkan lebih dekat dari urat lehernya sendiri. Wallahu'alam...

Thursday, August 30, 2007

THE MEANING OF TIME


To understand the meaning of ONE YEAR
ask student who has failed his exam

To understand the meaning of ONE MONTH
ask a mother who has given birth to a pre-mature baby

To understand the meaning of ONE WEEK
ask an editor of a weekly magazine

To understand the meaning of ONE DAY
ask a daily wage labor

To understand the meaning of ONE HOUR
ask a girl who is waiting for her boy

To understand the meaning of ONE MINUTE
ask a person who has missed the train

To understand the meaning of ONE SECOND
ask aperson who has survived an accident

To understand the meaning of ONE MILLI-SECOND
Ask a sprinter who has won a silver medal in olympics

And lastly, are you realizing that the time is passing bay?
Are you ready to be responsible to Allah how you used every milli-second of your time?

FUNNY, ISN'T IT??

Funny... How $10 looks so big when we take it to the Masjid
And so small when we take it to the Mall

Funny... How big an hour serving Gods looks
And how small 60 minutes are when spent watching serial TV, shopping or playing soccer

Funny... How laborious it is to read a juzz in the Qur'an
And how easy it is to read 200-300 pages of a best selling novel

Funny... How we believe what newspaper say
But question what the Quran says
Funny.. How we lose our worls to say when we pray
And how fluent we talk too a friend

Funny... How we need 2-3 weeks to fit an Islamic event in to our schedule
But can fit other event at the last moment

And that is so...
The funny things will not always be entertainment for our souls
since there are funny things to be taken in to our contemplation.

Funny, isn't it???

(puisi Anonimous, dari Malajah Percikan Iman)

Sunday, August 26, 2007

Family comes first

Lately, I often see married people with their children, and I think they look so peace…. Hmm..selama ini gw hampir gak pernah kepikiran yang namanya nikah.. but when I saw some of my friends yang udah berkeluarga, dengan anak2 mereka yang lucu-lucu, adorable, cute, and so weak, I don’t know, I think I should get married..hueheheh. Seorang teman pernah gw tanya, hal apa yang paling membahagiakan dalam hidupnya, dia bilang pada saat dia punya anak… kebahagiaannya melebihi waktu dia married. Teman yang lain juga pernah bilang, punya anak adalah harta yang paling berharga…. Eventhough dia udah bisa mencapai impiannya, ternyata kebahagiaan punya anak tak terlukiskan. Lalu, ada tetangga yang hidupnya begitu pas-pasan, tapi, setiap sore gw selalu lihat binar kebahagiannya saat dia bermain sama anaknya. Abang gw juga banyak berubah setelah punya anak, dan dia bilang, kebahagiaannya adalah ketika punya anak, kalo istri or temen bisa dicari lagi, tapi anak, sungguh anugerah yang tak terkatakan.

Gw dulu mikir menikah itu mungkin rumit, apalagi punya anak, pasti repot, tetapi teman2 gw yang sudah menikah dan mempunyai anak, walopun kurang tidur or kurang istirahat, they looked peace… more happier than para lajang yang kehidupannya lebih dari cukup. Emang, kalo udah nikah and punya anak, pasti waktu tidur berkurang, itu kata temen gw, pada saat denger itu, pasti ada sedikit ketakutan kebebasan kita akan berkurang. Tapi, begitu mereka menjalani kehidupan rumah tangga, gak ada lagi kekhawatiran kurang tidur, kecapean, kurang istirahat, or gak sebebas waktu lajang, coz they only think how to make their children or their spouse happy. Bener-bener belajar untuk gak egois.

Gw jadi inget perkataan Morrie dalam bukunya Tuesday with Morrie, ketika ditanya apa kebahagiaannya having family and children, dia simply said, “there is no experience like having children. That’s all. There is no substitute for it. You cannot do it with a friend. You cannot do it with a lover. If you want the experience of having complete responsibility for another human being, and to learn how to love and bond in the deepest way, then you should have children. That is absolutely true. It’s about having more responsibility. I ask myself again, what makes me think not to get married… and I got the answer, I was afraid having more responsibility, and that’s why God knows, He doesn’t give me that responsibility yet. And I think it’s not only about responsibility, it’s about feeling settle in our comfort zone, and if we feel enough with everything we have now especially in material thingy, we feel secure, finally we don’t want to ruin it with married and it’s problems. I feel like I’m a coward. I’m too afraid to start new life, and this new life could make me happier, more values, and more colorful, but I only think the negatives about marriage.

Now, I realize that I was so arrogant that I didn’t need love, caring from other person, in fact the older we get, the more lonely we feel if we don’t get love from our other half, especially unconditional love, like the way our parents love us. Yes, we can get unconditional love from family. Ketika kita semakin renta, and gak berdaya, gak ada yang mengikat kita, selain keluarga. Even di hadits dikatakan, kita bisa menjadi pintu surga buat anak kita. So, the fact is, there is no foundation, no secure ground upon which people may stand today if it isn’t the family.. Sure, people would come visit, friends, associates, but it’s not the same as having someone who will not leave. It’s not the same as having someone whom you know has an eye on you, is watching you the whole time…. (Tuesdays with Morrie). And that someone could be our children, wife or husband..family.

Sunday, August 19, 2007

KEMATIAN

Bismillaahirrahmaanirrahiim….

Kullu nafsindzaaiqotulmauuut…..

Deg! Ayat ini selalu membuatku tersentak, berapa kalipun aku mendengarnya, setiap kali mendengar ayat ini, selalu berasa pertama kali mendengar. Tetapi, setiap kali itu pula, aku cepat melupakannya…… betapa cepatnya hati manusia berubah. Menit pertama, begitu takut mendengar ayat-ayat tentang kematian, menit berikutnya sudah tertawa-tawa keras bersama teman-teman. Aku jadi teringat hadits Rasulullah SAW, beliau bersabda; apabila aku dapat melihat hal-hal ghaib, maka lebih banyak lagi kebajikan yang aku lakukan. Aku merasa menjadi hamba pemimpi, takut akan kematian,tetapi tak pernah bersegera untuk beramal shaleh.

Kematian adalah suatu kemestian sebagaimana syurga dan neraka, sebagaimana hari kiamat, sebagai seorang mukmin otomatis kita mengimani Allah, sebagaimana kita juga mengimani Qadha dan Qadar. Tetapi, sejauhmana kita mengimaninya? Apakah hanya dengan mengatakan dengan lisan, dengan mengingatnya, menangisinya, lalu kembali ingkar? Allah, sulit sekali kita menjaga hati ini, menjaga lidah ini, dan menyuburkan cinta ini kepada-Mu. Hingga membawa diri ini agar cinta kematian.

Kita tak akan pernah tahu di bumi Allah sebelah mana kita akan mati dan dengan cara bagaimana. Tetapi, ternyata kita lebih memilih dunia yang hanya sebentar, daripada kampung akhirat yang lebih abadi. Para salafusshalih di jaman dahulu saja yang sudah jelas mendapat kemuliaan dari Allah, mereka tak pernah merasa aman dari siksa Allah, bahkan disaat ajal menjelang, mereka begitu berharap Allah menerima segala amal-amal mereka. Rasa takut dan harap mereka begitu besar ketika sedang menghadapi ajal. Mengapa kita yang sangat tidak sebanding dengan para salafushshalih, bisa merasa aman dari siksa Allah??

Rasulullah saw bersabda: orang yang paling cerdas adalah orang yang banyak zikrulmauut, alias mengingat mati. Karena Rasulullah Saw juga bersabda, carilah kehidupan dalam kematian. Orang yang mengingat mati, dia akan selalu bersyukur atas apa yang terjadi pada dirinya setiap harinya. Karena dia merasa akan mati, dia beribadah sebaik-baiknya seolah-olah akan mati besok, dan bekerja sebaik-baiknya, maka ambisi terhadap dunia menjadi menurun, somehow, pekerjaan yang sangat penting untuk kita menjadi tak begitu penting. Dan kita akan sangat menghargai dan mensyukuri setiap harinya ketika kita bangun dari tidur, ternyata Allah masih memberi kesempatan untuk hidup, melihat cahaya matahari, melihat pepohonan, dedaunan, merasakan tiupan angin, berkumpul dengan keluarga, dan yang paling penting Allah memberi kesempatan untuk memperbaiki diri kita. Mempersiapkan yang terbaik ketika menghadap sang Maha Pecipta yang selalu memberikan kebaikan serta tak pernah melalaikan kita. Apakah kita akan menghadap Allah dengan penyesalan atau dengan senyuman, karena yakin akan janji Allah bagi orang-orang yang beriman? Jangan tunda lagi, bersegeralah melakukan amal2 sholeh yang dicintai Allah, karena kita tak pernah tahu kapan kita akan meninggalkan dunia ini…

bintaro, 20 agustus '07

(Ya Allah, ajari hamba untuk selalu bisa mensyukuri nikmat-Mu)

RENUNGAN

Saudaraku, apa kabarmu hari in?... baikkah, gelisahkah, takutkah, dalam keadaan berimankah atau kekhawatirankah yang selalu mengganggu? Waspadai rasa gelisah, gundah gulana, ketakutan, karena kemungkinan itu adalah alarm. Tanda-tanda bahwa diri ini sedang berada jauh dari gapaian Allah. Walau sudah berulangkali mengaji, ternyata, mengaji pun tidak bisa menjadi syifa dan penawar kegelisahan. Sudah mencoba mendengarkan ceramah dan taushiyah, ternyata hati ini tetap hampa. Sungguh, ini adalah keadaan yang paling menakutkan, karena mungkin saja ini adalah alarm dari kehilangan kontak dengan Allah azza wa Jalla. Itu adalah hal yang paling ditakutkan terjadi pada diri setiap mukmin. Takut di hari dimana Allah tak mau lagi melihat wajah kita, wajah yang penuh kehinaan, hitam penuh noda, dan kebusukan hati.

Sungguh, kita pasti tak akan sanggup menghadapi hal tersebut, maka menangislah akan keadaan tersebut. Mungkin kita tak pernah berani memimpikan syurga, karena begitu jauhnya kualitas ibadah dan akhlak kita dibanding para sahabat atau para tabi’in. Tetapi, setiap kali membayangkan nerakapun, kita pasti gemetar hebat, karena kita tahu, begitu banyak dan besarnya dosa-dosa yang kita perbuat. Cobalah hitung-hitung, apakah dosa terbesar yang telah diri ini perbuat selama ini…

Ternyata kita lebih sibuk mengejar dunia hanya untuk uang seperak 2 perak, sedangkan urusan akhirat selalu kita nomor sekiankan, padahal sedikitpun Allah tak pernah melalaikan kita. mulai dari tidur di malam hari lalu datangnya fajar hingga datang lagi malam, Allah selalu menjaga kita, menjaga rahasia kita, aib-aib kita, bahkan kalau bukan Allah yang Maha Penyayang kepada kita yang telah melindungi kita dari musuh-musuh yang mengintai, pastilah kita tak akan pernah hidup tenang. Mari kita tanyakan kepada diri kita lagi, kita jadikan nomor berapakah Allah?.. disaat kita semua dijadikan oleh-Nya nomor satu. Kita yang telah diberi kehidupan justru masih bisa menyombongkan diri kita bahwa semuanya adalah karena usaha kita Masih saja kita berpikir, tak ada kekuatan yang mengatur setiap detik hidup kita yang berharga.… Sungguh durhakanya manusia.

Setiap kita diberi sedikit saja ujian dan cobaan dari Allah, mengeluh dan ketakutan serta panik sekali. Ketika sedikit saja kita dicela, dihina dan dimarahi orang lain, marah dan paniknya bukan kepalang, sibuk mencari cara agar nama kita tetap baik di mata orang lain. Tetapi ketika Allah yang marah kepada kita, sedikitpun kita tak peduli. Pandangan manusia lebih kita pentingkan daripada pandangan Allah. Padahal kemuliaan itu sedikitpun bukan milik kita, kemuliaan hanyalah milik Allah, kalaupun orang memandang kita mulia, karena kebaikan Allah kepada kita.

Apa yang kita cari di dunia? Kehormatan, harta, kemuliaan, pangkat, kedudukan, pujian? Setelah itu apalagi? Apakah kebahagiaan, ketenangan dan kedamaian yang kita dapat setelah kita mendapatkan semua yang kita cari? Hanya kehinaan yang kita dapatkan jika kita terlalu sibuk memikirkan apa yang orang lain pikirkan tentang kita. Sungguh menderitanya orang yang terpuruk di jurang riya, ujub, bangga, semua ketakutan ada disana kecuali takut kepada Allah.

(dari seorang yang sedang belajar mencintai Allah)

MERAIH SYURGA

Rasulullah SAW bersabda, “Jaminlah untukku 6 hal, niscaya aku jamin syurga bagi kalian; jujurlah dalam berbicara, tepatilah apabila berjanji, tunaikanlah amanah yang diberikan kepadamu, jagalah kemaluanmu, tahanlah pandanganmu, dan tahanlah tanganmu dari berbuat dosa” (HR Ahmad, Al-Baihaqi, Al-Hakim, dan Ibnu Hibban yang berasal dari hadits Ubadah bin Shamit).

Pertama kali aku membaca hadits ini ketika membaca buku Risalah tarbiyah Hasan Al Banna. Bagaikan bangun dari mimpi, aku tersadar, betapa jauhnya persyaratan yang diajukan Rasulullah Saw untuk diriku sendiri. Betapa tak satupun ciri-ciri itu ada dalam diriku. Aku langsung teringat akan janji-janjiku pada orang lain, kepada Allah, kepada orang tua. Betapa banyak hak-hak orang lain yang belum kupenuhi. Belum lagi banyak kata-kataku yang jauh dari kebenaran. Lalu aku teringat bahwa aku jarang menundukkan pandangan, belum lagi amanah-amanah yang tak tertunaikan, terbengkalai.

Aku menangis, betapa jauhnya surga bagiku. Betapa syurga tak akan pernah kuraih dengan segala keburukan, kebusukan dan kejelekan akhlakku. Sekalipun tangan ini menggapai-gapai syurga, aku yakin baunya pun tak akan pernah tercium kepadaku. Mudah sekali lidah ini mengatakan suatu janji dan mudah pula janji itu tak diwujudkan. Meremehkan keseriusan orang lain dalam memegang janji. Padahal janji yang terucap bukan saja harus dipertanggungjawabkan kepada manusia, tetapi juga di hadapan Allah.

Ringan diri ini berkata-kata dusta, padahal Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Tak ada rasa takut kepada Yang Maha Melihat, Mengawasi pada setiap lintasan hati, tetapi kita malah lebih takut kepada pandangan manusia, lebih takut untuk tidak membuat senang manusia, sedangkan Yang Maha Hidup dan memberi kehidupan begitu kecewa melihat tingkah laku kita, karena kita lebih takut pada makhluk, daripada kepada-Nya. Sedangkan Yang maha Mulia dan Maha Tinggi sedang marah kepada kita disaat manusia tertawa senang karena jokes-jokes kita penuh kebohongan.

Mudah sekali diri ini mengkhianati kepercayaan yang diamanahkan kepada kita. begitu mudahnya kita membuka aib orang lain yang mempercayakannya kepada kita, karena dia menyangka kita amanah. Padahal seorang mukmin tidak akan menjadi pengkhianat apapun kondisinya. Begitu mudahnya kita membocorkan rahasia orang lain demi kepopuleran. Padahal Allah telah menutupi aib-aib kita di dunia ini, Allah telah menjaga rahasia kita, tetapi mengapa kita tidak bisa berbuat hal yang sama untuk orang yang telah tsiqah kepada kita?...... jikalau Allah membuka aib-aib kita kepada orang tua, teman-teman terdekat, kepada murid-murid kita, niscaya mereka tak akan pernah mau mengenal diri kita, karena begitu buruknya diri kita, begitu busuknya diri kita.

Senang sekali diri ini jika sedang berkumpul bersama teman-teman, berbicara hal-hal remeh temeh, tertawa keras-keras, menertawakan orang lain, hingga akhirnya membicarakan keburukan orang lain, mencela sifat orang lain, padahal belum tentu kita yang mencela ini lebih baik daripada orang yang kita cela. Kita tak sadar telah menzhalimi orang lain. Bayangkan, betapa banyaknya orang-orang yang menuntut kita di akhirat nanti karena kita telah menzhalimi mereka. Satu-persatu amalan kita tak akan ada artinya. Kita lebih rela memakan daging saudara sendiri daripada Allah ridha pada kita. Allah, kerdil sekali hamba-Mu ini, hina sekali hamba-Mu ini.

Pada akhirnya, bukannya kemuliaan dan kenikmatan yang kita dapat tetapi, kehinaanlah yang pantas kita dapatkan karena kebusukan dan keburukan akhlak kita. keenam hal yang disebutkan Rasulullah Saw adalah hal yang sangat kecil dan mudah, tetapi berat menjalankannya jika tak ada iman dalam diri kita. Kita harus berkaca lagi, sudahkah kita tunaikan hak-hak orang lain, hak-hak Allah, dan semua hal yang bisa menjamin kita masuk surga…. Pantaskah kita disebut sebagai mukmin??.. Patutkah syurga untuk kita? Patutkah kita memimpikan syurga dengan kebusukan akhlak kita? don’t even think about it!!! Bersegeralah kepada ampunan Tuhan-Mu dan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi



Wednesday, August 01, 2007

My Little Baby...


Selama 38 minggu, kau dalam kandunganku, putriku...
Kau tak pernah menyusahkan Bunda.
Hanya di awal kehamilan, itu pun hanya satu bulan...
Bunda sedikit dihebohkan dengan mual dan muntah yang tak kenal waktu.
Tapi tentu itu tidak seberapa dibanding kebahagiaan mengetahui adanya kehidupan dalam rahimku ini...

Saat pertama kali mendengar detak jantungmu, atau pun saat merasakan tendangan dan gerakan tubuhmu... Rasanya tak sabar segera melihatmu dalam dekapan Bunda.

Tak terasa suatu pagi, setelah malam panjang penuh perjuangan menahan rasa sakit.
Allahumma Sabiila Yasaro... Ya Allah, mudahkan jalan lahirnya.”
adalah lantunan doa yang senantiasa berdesis saat menanti detik-detik kehadiranmu...

Dan akhirnya saat itu pun tiba...
Waktu menunjukkan pukul 07.59 wib, engkau pun terlahir ke dunia fana ini.
Tubuh mungil tanpa dosa dengan pipi tembem dan rambut hitam lebat,
Malaikat kecilku yang lucu...

Tanpa terasa waktu terus berjalan
Waktu-waktu menakjubkan melihatmu tumbuh dan berkembang dari hari ke hari.
Saat pertama kali kau tersenyum...
Saat kau bisa melangkahkan kaki-kaki mungilmu...
Saat kau bisa mengeluarkan kata-kata pertamamu...
Saat kau bisa bernyanyi, menari, melompat-lompat bahkan memanjat lemari pakaianmu...
Saat kau mulai bisa ngambek dan marah...
Saat kau begitu lucu dan polosnya meniru segala tingkah orang-orang di sekitarmu...

Putriku...
Sudah dua tahun usiamu, dan selama itu pula Bunda baru belajar menjadi seorang ibu.
Belajar dari kepolosanmu...
Belajar dari segala tingkahmu...
Kau-lah cermin Bunda...

Melalui dirimu, Bunda belajar untuk terus menjadi pribadi yang lebih baik...
Terimakasih putriku...
And the Most, For Allah, the best Creator...
Terimakasih ya Allah telah memberi hamba kesempatan menjadi seorang ibu.
Thank You, Allah! Alhamdulillah...

(Juli 2007, Puisi cinta dari seorang ibu)

KESABARAN DAN DUNIA ANAK


Jika ada banyak hal yang mempesona di dunia ini, salah satunya tentulah dunia anak. Di dunia itu segala keajaiban mungkin saja terjadi, dengan daya imajinasi, eksplorasi dan kreatifitas anak-anak yang selalu saja membuat kita terkaget-kaget.

Suatu hari, usai menonton tivi, anak-anak bisa saja membayangkan atau merencanakan pertunjukan meloncat dari balkon lantai dua. Persis seperti adegan yang baru saja ia lihat di layar persegi. Ia begitu asyiknya menikmati peran dalam khayalnya, dengan sigap mencari akal untuk bisa naik ke atas lemari pakaiannya, menarik sebuah kursi dan mulai memanjat. Sang anak berhasil berdiri di atas lemari mininya, ia bahagia. Tiba-tiba sang ibu muncul, wajahnya merah padam, dengan paniknya diturunkan sang anak dari atas lemari sambil terus mengomel, memarahi anak betapa bahayanya ia jika jatuh dari atas lemari dengan ketinggian satu meter itu. Kepanikan sang ibu menghilangkan dengan sekejap kebahagiaan sang anak, yang akhirnya merespon dengan menangis keras. Entah karena kecewa, takut atau marah pada sang ibu.

Contoh di atas adalah salah satu sikap kita para ibu yang seringkali panik dan tidak sabar dalam melihat polah anak yang “ada-ada” saja, padahal jika kita melihat dari sisi lain dan menghadapinya dengan tenang, mungkin respon yang keluar dari sang anak akan berbeda. Saat melihat kejadian itu, ibu dapat mengucapkan: “Masya Allah, astagfirullahal azhiim (dengan nada ramah tentunya). Adek, turun dulu ya… (lalu mulai menurunkan anak dengan sepengetahuannya). Lalu setelah anak duduk, ibu mulai menjelaskan anak apa bahaya bermain atau meloncat dari atas lemari dengan bahasa sederhana dan tidak dengan nada tinggi/marah. Lalu ajak anak bermain permainan lain yang tidak berbahaya, sehingga fokus anak menjadi teralih pada hal lain.

Kita mungkin bisa bersabar saat antri di loket, atau saat menunggu acara kesayangan kita di tivi, tapi kita seringkali tidak bisa mentolerir “kenakalan” anak. Padahal anak-anak tidak nakal. Mereka hanya punya segudang ide, imajinasi, kreatifitas dan daya eksplorasi dengan energi yang seakan tak ada habisnya itu.

Suatu hari, saya mengajak putri saya yang berusia 2 tahun untuk tidur siang. Entah karena kelelahan atau memang mengantuk, saat menemaninya saya malah tertidur lebih dulu, sedangkan putri saya menyadari saya telah tidur, bergegas bangun, mengambil krayon dan asyik mencorat-coret tembok. Saat saya terbangun beberapa waktu kemudian, saya melihat kamar berantakan dengan mainan yang berserakan dimana-mana serta tembok kamar yang telah dicorat-coret, tapi anak saya ternyata telah tidur pulas di samping saya, dengan wajah yang begitu manis.

Saya sebenarnya orang yang sangat tidak suka dengan ruangan yang berantakan tapi sejak memiliki seorang batita rasanya mustahil rumah tetap rapi dan bersih, daripada stres lebih baik mengubah sikap kita. Toh suatu saat anak akan besar, dan rumah pun dapat kembali rapi seperti yang kita inginkan. Alih-alih merasa kesal atas tingkah anak, bukankah lebih baik pandang kelucuan dari sisi anak. Lihatlah kenakalan anak dengan santai.

Biarkan anak menjadi anak, biarkan mereka mengerjakan apa yang sepantasnya dilakukan anak. Jangan bebani anak untuk menuruti apa pun yang kita inginkan. Biarkan mereka bermain secara alami, kita hanya membantu mengawasinya dari bahaya karena ketidaktahuannya, serta mendampinginya menikmati masa kecil yang bahagia. Sikap memahami dan menerima dunia anak akan mempermudah kita untuk selalu bersabar. Jangan berharap terlalu tinggi pada anak, selain dapat membuat anak stres, Ibu pun semakin stres jika anak tidak seperti yang diharapkan.

Dunia anak memang terkadang sulit dimengerti orang dewasa. Kita tidak bisa memaksakan daya pikir orang dewasa masuk dalam dunia mereka. Biarlah mereka menikmati dunia anak-anak yang polos dan tulus.

Walau pun begitu, anak-anak pun dapat “menguasai” orang tua, mereka dapat mendominasi waktu dan membuat kita tidak berdaya. Anak-anak pun sangat senang mencari perhatian orang tuanya. Dan mereka juga sangat pandai “menemukan titik lemah” kita. Bagaimana pun juga kontrol/ kendali tetap di tangan orang tua, terlalu menuruti apa pun keinginan mereka dapat menjadikan mereka anak yang manja dan serba ingin dituruti kemauannya. Anak yang menangis ketika meminta sesuatu, dan untuk meredakan tangisnya orang tua mengabulkan permintaan anak. Maka ia akan belajar menggunakan tangisannya sebagai senjata untuk memenuhi keinginannya. Saat mereka berbuat negatif, jangan berlebihan memberinya perhatian/ kritikan. Anak akan mengambil kesimpulan lebih baik dimarahi daripada tidak diperhatikan.

Memang menghadapi anak-anak, orang tua perlu memiliki ilmu dan wawasan. Apalagi setiap anak punya karakter masing-masing, polah si kakak bisa berbeda dengan si adik, sehingga penanganan setiap anak juga berbeda. Mendampingi anak tumbuh optimal tentu menguras energi kita. Hanya keikhlasan yang bisa menumbuhkan energi extra untuk kita, para orang tua. Wallahu’alam…

(Home Sweet Home,31 juli 2007)
Dari seseorang yg sdg belajar mjd ibu…


BEING A MOTHER IS A WONDERFUL GIFT

Rasanya kalimat judul di ataslah yang senantiasa “mengingatkan dan menguatkan” diri ini untuk tetap bersabar dan terus belajar dalam proses panjang menjadi seorang ibu. Hehe.. kalimatnya jelimet amat yaks?

Maksudnya gini, dulu waktu sebelum punya anak, kayaknya asik-asik aja melihat seseorang menjadi ibu, kupikir kan sudah kodratnya. Pastilah jadi ibu kudu super duper sabar, telaten, pengertian en sayang banget ama anaknya. Pokoknya semua wanita yang mau menjadi ibu pasti bertekad ingin menjadi ibu yang terbaik, ibu yang sabar dalam menghadapi segala tingkah polah anak, ibu yang bisa menjadi tempat berteduh anak-anak, tempat anak bercerita, sharing, dst. Namun, saat anak-anak lahir, kita seakan “lupa” akan tekad awal kita. Tanpa sadar kita bersikap cerewet, menuntut anak seperti kemauan kita bahkan seringkali mudah sekali mengumbar amarah/ bentakan pada mereka. Kita tanpa sadar sering mengeluh ketika melihat tingkah polah anak yang terkadang menyebalkan, terlalu aktif, dan sulit diatur. Kita pun terjebak untuk bersikap negatif pada anak. Terlebih kalau kita sedang sibuk dengan aktivitas kita, atau saat tubuh sedang lelah-lelahnya, rasanya sedikit aja tingkah anak yang mengganggu, sudah membuat urat syaraf menegang.

Repotnya jika pola asuh dengan sikap negatif yang lebih mendominasi hari-hari kita dengan anak. Walhasil anak akan terbiasa hidup dalam suasana yang tidak menyenangkan, bagaimana menyenangkan kalau sedikit-dikit salah, lebih banyak omelan dan bentakan yang diterimanya. Ah, ternyata menjadi ibu yang baik itu sangat susah, ya. Salah-salah bersikap, bisa menggores noda dalam cetakan kertas putih sang anak. Noda yang bisa saja sulit untuk dihapus kembali. Menjadi ibu memang perlu sensitif terhadap kesalahan yang diperbuatnya, belajar dari kesalahan dan berusaha memperbaikinya. Memang di dunia ini tidak ada sekolah untuk menjadi orangtua. Menjadi orangtua memang susah-susah nikmat (apaan coba?!). Prosesnya panjang dan penuh dengan pembelajaran, sekolahnya ya rumah tangga itu sendiri, belajar secara otodidak. Learning by doing. Learning by process.

Ada nasihat bijak dari seorang ibu yang kebetulan seorang psikolog, bersabarnya seorang ibu adalah dengan berpikir positif. Berpikir positif berawal dari kelapangan hati menerima berbagai kemungkinan tingkah laku anak, dari tingkahnya yang menggemaskan sampai dengan tingkah yang tidak bisa kita bayangkan sama sekali. Semua orang pada dasarnya bisa bersabar. Sabar dapat dilatih dengan cara memahami sifat, sikap, perasaan dan harapan yang kita miliki. Sabar dimulai dari sikap. Jika kita perfeksionis, maka sekarang waktu untuk meninggalkannya. Sadari bahwa dengan kehadiran anak kecil, rumah tidak akan bisa selalu bersih dan rapi (tertata pada tempatnya). Pandanglah anak sebagai fase normal dan akan segera berlalu.

Lihatlah kenakalan anak dengan santai. Biarkan anak menjadi anak, biarkan mereka mengerjakan apa yang sepantasnya dilakukan anak. Sikap memahami dan menerima dunia anak akan mempermudah kita untuk selalu bersabar. Jangan berharap terlalu tinggi pada anak, selain dapat membuat anak stres, Ibu pun semakin stres jika anak tidak seperti yang diharapkan.

Kadang ibu menjadi mudah marah karena terlalu lelah atau terlalu banyak pekerjaan.Tidak ada yang membantu meringankan tugas dan tidak punya cukup waktu untuk dirinya sendiri. Sehari-hari selalu disibukan rutinitas pekerjaan rumah yang tidak ada habis-habisnya. Jika puncak kejenuhan dan kelelahan itu datang, berhentilah dari pekerjaan ibu dan istirahatlah. Berbagilah tugas dengan suami, jika anak-anak masih kecil dan tidak ada dana untuk membayar orla. Misalnya suami membantu mencuci pakaian di hari libur seperti sabtu atau minggu, ibu hanya menyetrika baju yang penting saja seperti baju kerja suami, pakaian sekolah anak, baju-baju bayi dan baju untuk pergi, yang lain bisa langsung dilipat. Dst, ibu bisa mencari cara yang pas untuk mengurangi rasa lelah ibu. Ingat, ibu bukan super mom yang bisa melakukan semunya sendiri, jadi jangan sedih dan merasa gagal jika Ibu merasa lelah dan butuh refreshing. Seorang ibu juga butuh waktu untuk dirinya sendiri.

Memang menjadi seorang sabar bukanlah pekerjaan semudah membalik telapak tangan. Hari ini mau, besok sudah jadi. Tentu butuh latihan dan proses. Kesabaran selalu diuji dan diuji. Hadapilah setiap situasi dengan tenang, ambil nafas panjang dan sembunyikan rasa marah. Tapi jika masih sulit juga, mungkin bisa mencoba langkah ini:
1. Tidak makan sampai kenyang atau rutin puasa Senin-Kamis misalnya.
2. Merubah posisi ketika marah.
Ambillah wudhu, insya Allah dapat meredakan emosi yang memuncak.
3. Tingkatkan kedekatan pada Allah.
4. Introspeksi diri. Hindari apa-apa saja yang membuat kita marah dan tidak sabar.
5. Banyak berdoa.

(Home Sweet Home, 30 Juli 2007)
Dari seseorang yg sdg belajar mjd ibu...

HIDUP ADALAH PILIHAN

Setelah lima tahun berlalu, dan bertemu kembali dengan kawan-kawan lama, teman di masa kuliah, kehidupan masing-masing ternyata sudah sangat berbeda. Ada yang sukses dalam kariernya, biasa bolak balik luar negeri untuk urusan bisnisnya, ada yg nyaman berkarier di negeri orang, ada yang memiliki multi karier (memiliki beragam pekerjaan sekaligus), ada yang tetap semangat meraih ilmu setinggi2nya, tapi juga ada yang hidupnya tetap biasa2 saja, termasuk juga yang begitu bahagia menjadi full time mother, seperti saya. Mungkin inilah yang disebut dengan garis hidup tiap orang berbeda, walaupun dimulai dari titik yang sama. Waktu sama-sama kuliah, masih begitu lugu dan idealis, tapi dengan berjalannya waktu, saat toga sudah usai dikenakan dan kehidupan sesungguhnya mulai tampak di depan mata. Mulailah tiap orang menjalani pilihan hidupnya masing-masing, menikmati peran yang telah dipilihnya.

Dalam kehidupan ini, di setiap fasenya selalu saja kita bertemu dengan berbagai pilihan, entah itu memilih sekolah/kuliah, pekerjaan, tempat tinggal sampai pasangan hidup. Berbarengan dengan pilihan tsb, pasti ada konsekuensi dan risiko yang mau tak mau harus mampu kita pikul.
Saat pilihan tsb tepat tentu tak masalah, tapi pasti berat banget ya kalo pilihan yg sudah kita yakini terbaik ternyata salah. Rasanya mau ditangisi siang malam terus menerus tetap saja tidak kan mengembalikan keadaan seperti semula atau seperti yang kita harapkan. Pastilah ada rasa kehilangan/penyesalan. Memang terasa sekali jika sesuatu yang hilang itu adalah sesuatu atau seseorang yang kita cintai, bisa juga mimpi, harapan dan keinginan yang tertunda atau mungkin hilang begitu saja. Tapi yakinkan diri bahwa “Kehilangan itu bukanlah akhir dari segalanya…” Ingatlah bagaimana kesuksesan dapat diraih dari orang-orang besar, justru dari kehilangan/kegagalan serta ketekunan dan kesabarannya dalam menghadapi saat-saat tersulit dalam hidupnya. Bahkan ada pepatah berkata “Orang yang besar adalah orang yang mau belajar dari kegagalannya.”

Saya jadi teringat J.K Rowling, pengarang buku Harry Potter. Saat kehilangan suaminya yang meninggal, di usia 25 tahun, J.K memilih untuk tetap kuat menghadapi kehidupannya yang berat dg putrinya yg masih kecil. Usai pulang kerja, J.K mulai menulis, sehingga lahirlah novel fenomenal Harry Potter yang berhasil menjadikannya milyuner. Padahal pada awalnya, selama 6 tahun HP ditolak oleh banyak penerbit, tapi keyakinan J.K untuk tetap menerbitkan HP terbukti merupakan pilihan yang tepat. Kini, di usianya yang ke 42 tahun, ia bisa menikmati hasilnya. Bahkan sekuel buku HP dari no.1 sampai 7 selalu menjadi best seller di berbagai Negara, dan mencetak rekor baru sebagai buku paling cepat habis terjual. Harry Potter menjadi ikon “dunia sihir” yang menggemparkan dunia. Walaupun tidak sefenomenal bukunya, film Harry Potter tetap menyedot perhatian pecintanya, sehingga sekuel film HP 1 – 5 selalu masuk box office.

Satu lagi yang pasti, saat sedang “down2-downnya” yakinlah bahwa dalam setiap kejadian pasti ada hikmah yang terkandung di dalamnya. Percayalah jika kita menggantungkan diri sepenuhnya pada-Nya, dengan cinta-Nya, Allah pasti akan memberikan pertolongan. Hadapi hidup dengan optimis. Jangan tangisi ketika pernikahan yang sudah di depan mata ternyata bubar sebelum berkembang. Jangan sesali keputusan pindah tempat kerja ketika ternyata di tempat baru keadaannya lebih buruk. Jangan ratapi mengapa ayah tiada sebelum kita bisa memberinya sesuatu. Jangan berburuk sangka mengapa Allah belum jua memberikan pasangan hidup, dst…

Percayalah bahwa setiap ujian yang diberikannya pasti mampu kita hadapi, karena ALLAH Maha Mengetahui apa-apa yang terbaik untuk kita dan tak pernah sedikit pun berkenan menzhalimi hamba-hamba-Nya.

Ujian-ujian kehidupan adalah wujud cinta-Nya, tempaan untuk menjadikan hamba-hamba-Nya kuat dan semakin mencintai-Nya. Namun jika kita gagal memaknainya, maka bukan iman yang bertambah tapi kefuturan yang menghampiri. Itulah pilihan hidup, pilihan kita untuk bersikap. Dan jawabannya begitu abstrak, tidak dapat kita ketahui dengan pasti, namun dapat dirasakan oleh hati melalui perenungan yang dalam. Adakah setiap kejadian dalam hidup kita yang telah berlalu membekas dalam diri? menjadikan diri kita lebih baik dari sebelumnya…???

Subhanallah, Allahu Akbar. Hanya Dia-lah yang Maha Mengetahui apa-apa yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya, Yang senantiasa berada di sisi kapan pun dan dimana pun kita butuhkan. Kasih-Nya luas tak terbatas. Dan ini sungguh amat terasa dalam dan seringkali membuat diri ini merasa sangat-sangat malu pada-Nya. Malu karena diri ini, dengan berbagai limpahan karunia-Nya masih saja belum optimal beramal, masih saja terus berkeluh kesah, masih saja lemah diri, masih saja bermalas-malasan… Allah Ya Rabbana, ampunilah hamba-Mu yang dhoif ini…

Jadi teringat lirik lagu Dewa, “Hidup adalah perjuangan tanpa henti-henti…”, yah begitulah hidup. Hidup juga adalah ujian, orang yang sudah berkecukupan diuji dengan TAWADHU (rendah hati/ tidak sombong, bukan rendah diri/ minder,lho) dan SYUKUR (dengan dermawan dan peduli pada kaum dhuafa), sedang orang yang hidup kesulitan diuji dengan SABAR (sabar dalam menjalani kehidupannya yang sulit dg terus bekerja keras dan tidak mengeluh). Indah nian ternyata hidup ini jika kita mampu memaknainya. Sayangnya, seringkali (dan terlalu sering) diri ini lupa diri… astaghfirullah… hiks…hiks…hiks… (END)

Home Sweet Home, 14 Juli 2007.
Dari seseorang yg sdg belajar mjd ibu…

Sunday, July 29, 2007

PARENTS AS A ROLE MODEL

Dalam obrolan ringan diantara ibu-ibu muda, terucap bahwa menjadi orangtua itu susah-susah gampang. Mungkin benar juga, walau kadang saya pikir kayaknya lebih banyak beratnya dech, hehehe... Berat karena tanggungjawab menjadi orangtua itu luar biasa sulit, tetapi menjadi gampang kalo kita enjoy dalam menjalani peran sebagai orangtua. Anak itu kan bagaikan kertas putih, sedikit saja kita salah “menggoresnya”, tentu tak semudah membalikkan tangan untuk mengoreksi kesalahan itu (waks, makin ngejelimet aja kata2 saya, tenang... tenang... sabar dulu ya bacanya, hehehe...).

Di antara tanggungjawab sebagai orangtua, salah satunya adalah menjadi role model (contoh/ panutan/ teladan) yang baik untuk anak. Yang belum punya anak, mungkin akan membatin: “Ah, gitu aja kok repot...” Tinggal tunjukin gimana berperilaku yang baik, ajari anak, beres. Tapi kenyataannya, ternyata gak se-simple itu. Betul gak, para ortu???

Lanjut lagi yaks...
Ketika seorang bayi baru saja hadir di dalam rahim ibu, suara yang paling sering ia dengar jelas adalah suara sang ibu. Tentu saja karena selama 9 bulan sang bayi terus berada dalam hangatnya rahim bunda, ia juga dapat merasakan perasaan yang berkecamuk pada diri ibunya. Makanya gak heran sejak hamil, ibu harus bisa mengontrol emosinya, selain baik untuk proses kehamilannya juga sangat berperan terhadap perkembangan janin. Dalam kandungan pula, bayi sudah bisa diberi stimulus berupa suara atau pun gerakan/usapan lembut. Sambil mengelus perutnya, ibu bisa “bercakap-cakap” dengan sang bayi, menyenandungkan lagu-lagu indah, membacakan kalam suci, bersalawat, dst. Jalinan komunikasi yang terbangun inilah yang menjadi awal kedekatan ibu dan anaknya kelak. Dan sejak dalam kandungan pula, ibu sudah menjadi role model anaknya.

Setelah terlahir di dunia ini, lagi2 manusia pertama yang paling sering bersama sang bayi adalah orangtuanya, terutama sang ibu. Sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa orangtua adalah role model pertama bagi anak. Di usia awal kehidupannya, bayi merekam semua dan apa saja yang ada di sekitarnya. Kemudian dengan semakin bertambahnya usia, bayi pun mulai meniru.

Segala tingkah laku kita akan dengan mudah ditirunya, mulai dari gaya bicara kita, gaya hidup kita, bagaimana kita bertingkahlaku, sampai bagaimana kita memperlakukan oranglain, semua akan terekam dalam benak anak dan akan dituangkan dalam wujud nyata perilakunya. Maka tidak heran jika ibu yang mudah mengumbar omelan dan caci maki, maka anaknya pun akan menjadi anak yang pemarah dan temperamental. Saya jadi ingat tulisannya Dorothy Low Nolte :

Dari Lingkungan Hidupnya Anak-anak Belajar…

Jika anak banyak dicela, ia akan terbiasa menyalahkan.
Jika anak dihantui ketakutan, ia akan terbiasa merasa cemas.

Jika anak serba dimengerti, ia akan terbiasa menjadi penyabar.
Jika anak banyak diberi dorongan, ia akan terbiasa percaya diri.
Jika anak banyak dipuji, ia akan terbiasa menghargai.

Jika anak diterima oleh lingkungannya, ia akan terbiasa menyayangi.
Jika anak diperlakukan dengan jujur, ia akan terbiasa melihat kebenaran.
Jika anak mengenyam rasa aman, ia akan terbiasa mengandalkan dirinya dan mempercayai sekitarnya.

Sungguh Indah Dunia Ini!
Bagaimanakah anak Anda?

Sebenarnya, menjadi role model bagi anak adalah bagian yang tak terpisahkan dari tugas mendidik para orangtua kepada anak2nya. Secara alami, tanpa diminta pun, anak akan berkembang mengikuti apa yang telah dicontohkan orangtua dalam kehidupan sehari-harinya. Sayangnya, tidak semua orangtua menyadari betapa pentingnya tanggungjawab ini. Sehingga gak heran, kini semakin banyak lahir “produk2 didik yang tidak utuh”. Generasi yang tak kenal tata krama, semau gue, anti sosial, egois, maunya yang serba instan/ tersedia dengan cepat, tak punya daya juang, dst. Hiiiiiiyyyy....baru ngetiknya aja sudah bikin bulu kuduk merinding. Bayangkan jika anak kita termasuk dalam generasi itu, na’udzubillah! Sungguh gak rela kan. So, kayaknya kali ini kita harus mulai “berbenah”diri. Bagaimana kita ingin anak kita menjadi anak yang jujur, jika di depan matanya saat telepon berdering ada yang mencari kita, lalu kita berkata “Bilang, mama gak ada!” tuh kan, tanpa sadar anak telah diajari cara berbohong. Dst, pasti banyak banget berbagai macam contoh perilaku kita yang gak baik, yang sebenernya gak ingin kita “tularkan” pada anak2 kita, ‘tul gak ibu2 en bapak2???

Tambah lagi, orangtua masa kini menghadapi tantangan yang tidak ringan. Mata, telinga dan hati anak-anak kita kini didera suguhan budaya hedon dan permisif, adegan kekerasan dan seks, serta krisis moral. Kayaknya dari televisi juga media yang lain lebih banyak berisi hal2 “sampah” tsb, mulai dari gosip, acara kriminal dengan darah dan adu tembaknya, film2 horor, belum lagi bejibunnya tayangan sinetron yang gak mendidik, para pelajar yang baru smp/ smu malah sudah sibuk pacaran, tongkrongannya mercy pula, hpnya keluaran terbaru, pake bajunya merk terkenal, gaya hidupnya seputar pesta, cafe, hotel, mall, dst, kayaknya gak pernah belajar, sekolah cuma jadi setting tempat aja... pokoknya gaya2 manusia di atas langit yang gak merakyat di zaman ekonomi sulit ini. Tapi sekedar “membuai” para remaja untuk ikutan bergaya seperti itu padahal untuk makan aja orangtuanya sudah kembang-kempis, si anak tetap aja ngotot harus punya hp demi slogan ikutan tren, “zamaaan giniii, gak punya hp...” (eh sori dori mori mpok nori...jadi latah saking sebelnya ama tayangan sinetron abg saat ini... someday jd pengen nulis tentang itu, mungkin judulnya “Beri Tontonan Sehat untuk Buah Hati Kita”, hehehe...).

Back to our topic... Karena itulah untuk menghadapi tantangan zaman seperti tsb di atas, mulailah dari diri sendiri untuk lebih “aware” dalam mengkonsumsi apa pun, baik tontonan, makanan sampai tingkahlaku. Maksudnya??? Jika ingin menyeleksi apa2 yang dikonsumsi anak, mulailah dari diri kita misalnya gak nonton acara2 gak layak untuk anak2 saat anak ikut menonton di samping kita, tunggulah sampai mereka tidur. Kalau ingin anak makan sayur, mulailah dari kita yang terlihat lahap makan sayur. Kalau ingin anak kita berperilaku santun terhadap orla, mulailah dari kita yang selalu mengucapkan terimakasih pada si mbak di rumah dan orla yang menolong kita, juga meminta maaf pada anak saat kita berbuat salah pada anak. Jika kita ingin anak tersenyum, cobalah kita yang tersenyum lebih dulu. Jika tidak ingin anak2 bertengkar, perlihatkan kekompakan kita dengan pasangan. Dst. Mengikuti nasihat dari ‘Aa Gym, “Mulailah dari diri sendiri, mulailah dari yang kecil dan mulailah saat ini.” T.O.B banget kan? Emang sih, untuk kebiasaan yang udah mendarah daging, awalnya pasti sulit, tapi buat anak, apa pun akan kita lakukan, ya kan? Setujjjuuuuuuuuu.........???????

Inget lagi kata2 ‘Aa Gym, “ Memiliki anak bukanlah suatu prestasi. Tapi menjadi teladan anak, itu baru prestasi!” Tentu menjadi kebahagiaan tak terhingga melihat anak2 kita tumbuh menjadi generasi yang lebih baik dan bermanfaat bagi masyarakat. Dan semua itu insya Allah dapat terwujud melalui ikhtiar/usaha kita menjadi orangtua yang baik dengan menjadi teladan anak. Kita tak bisa menuntut orla berubah, jika kita sendiri tidak mau mengubah diri. Anak2 memiliki kepekaan yang tinggi, sehingga mereka bisa merasakan bagaimana usaha orangtuanya memperbaiki diri. So, tunggu apa lagi? Do what we can do, right now!! Be Parents as A Role Model For Our Children! (END)

(Home Sweet Home, 18 Juli 2007)
Maap kalo bhs inggrisnya ngaco2, hehehe...

SAAT IBU HARUS MEMILIH

Seorang wanita secara fitrah memiliki naluri kewanitaan yang lembut dan penuh kasih sayang. Setelah mengikat janji dalam pernikahan yang suci, pastinya ada keinginan untuk segera memiliki buah hati tersayang, walaupun ada juga yang masih ingin menunda karena suatu hal. Dan ketika saat itu tiba, ketika dalam rahim menunjukkan tanda-tanda kehidupan, kebahagiaan yang tak terhingga bagi wanita mulai menggelora dalam dada. Hari demi hari berlalu dan perut pun semakin membesar, seiring itu pula calon ibu mulai mempersiapkan segala hal untuk bayinya yang akan lahir. Dan akhirnya sang bayi pun terlahir ke dunia. Semakin lengkaplah kebahagiaan menjadi wanita seutuhnya.

Hari-hari bersama bayi mungil di hari-hari pertama kehidupannya adalah fase-fase penuh pembelajaran. Bayi belajar untuk bernafas dengan hidungnya sendiri, tidak lagi tergantung pada ibunya seperti dalam rahim dulu. Ketika lapar, tak ada lagi tali pusat ibu tempat menyalurkan makanan, bayi pun harus belajar menyusui, bagaimana mengisap dengan benar, dst. Dan bagi ibu baru, memiliki seorang bayi (apalagi jika anaknya kembar), juga menimbulkan kekhawatiran tak bisa memberi yang terbaik untuk sang buah hati. Saat itulah peran suami dan keluarga besar sangat dibutuhkan untuk mendampingi sang ibu baru, belajar menjadi ibu sesungguhnya. Sehingga di awal2 pemulihan ibu paska melahirkan, ia pun bisa mempersiapkan diri menjadi ibu, beradaptasi dengan perannya yang baru, menikmati saat-saat berharga bersama si kecil yang begitu mungil dan menggemaskan. Dengan begitu, sang ibu baru pun tak sampai mengalami baby blues apalagi sampai mengalami depresi paska melahirkan.

Bagi wanita bekerja, saat cuti mulai usai, timbul dilema yang baru, yakni pilihan untuk menjadi ibu dan tetap bekerja atau melepas karir dan sepenuhnya mengasuh sang buah hati. Pilihan yang sama sulitnya, karena keduanya tentu memiliki konsekuensi yang sama beratnya. Antara kebutuhan untuk mengaktualisasi diri dan mendapatkan income sendiri atau menjadi full time mother agar si kecil cukup mendapat kasih sayang dan pengawasan, terlebih jika kita tak punya seseorang yang dapat diandalkan untuk mengasuh sang buah hati.

Pada akhirnya, apa pun pilihan ibu, yakinlah bahwa pilihan itu adalah yang terbaik. Setiap orang memiliki kondisi hidup yang berbeda, jadi yang terbaik untuk Anda belum tentu yg terbaik untuk oranglain, begitu pula sebaliknya. Jadilah dirimu sendiri, kenali dirimu dan berikan yang terbaik. Ibu tak perlu merasa sedih karena memilih tetap bekerja, karena Ibu masih tetap bisa menjadi ibu yang baik dan sukses berkarir meski tak sepenuhnya mendampingi si kecil. Saat ibu bekerja, harus ada orang yang dapat diandalkan untuk mengasuh sang buah hati. Sebaliknya, kalau Ibu sepenuhnya menjalani peran di rumah, bukan berarti harga diri Ibu berkurang(merasa minder) dan malah menjadi semakin terperosok karena tidak memiliki profesi dan penghasilan sendiri. Ingatlah, Ibu akan mendapatkan kebahagiaan tersendiri menikmati hari-hari berharga sepenuhnya bersama si kecil. Bukankah Anak adalah harta yang paling berharga? Merawatnya dengan sepenuh cinta kasih akan membantunya tumbuh berkembang dengan optimal, dan tumbuh menjadi anak yang percaya diri karena ia dicintai.

Keberhasilan menjadi Ibu bukan tergantung pada cukup tidaknya waktu yang diberikan pada anak. Sebaliknya aktualisasi diri juga tak harus dicapai melalui kerja full time di kantor. Ibu yang sukses, baik yang bekerja atau di rumah, adalah mereka yang menjalani perannya dengan target dan manajemen yang baik dan benar serta menjalin kedekatan yang optimal dengan sang buah hati. Setujuuuuuuuuuu???????? (END)

(Home Sweet Home, 15 Juli 2007)
dari seseorang yg sdg belajar mjd ibu

KARIER SANG IBU RUMAH TANGGA

Ibu rumah tangga seringkali diidentikkan dengan wanita-wanita berdaster yang sibuk dengan urusan dapur, cucian, pekerjaan rumah tangga dan anak2, yang waktu2 senggangnya diisi dengan nonton telenovela/sinetron sampai ngerumpi dengan tetangga. Entah kenapa bagi saya pribadi, stereotif itu terasa “merendahkan”, dan karena begitu santernya digaungkan dalam berbagai media massa seperti TV, majalah, dll, akhirnya menimbulkan efek psikologis bagi wanita yang telah menikah yakni merasa minder jika memilih peran sebagai full time mother. Sehingga banyak wanita2 berpendidikan tinggi emoh dengan peran tsb, karena lebih bergengsi menjadi wanita karir. “Toh, anak-anak akan mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik dengan kedua orangtuanya bekerja. Bisa mendapatkan pendidikan yang lebih baik, dst.”
Sebenernya gak ada yang salah dengan pilihan untuk jadi wanita bekerja atau full time Mother, selama kita "bertanggungjawab" dg pilihan kita itu (baca dulu dech: "Saat Ibu Memilih").

Saya hanya merasa “gerah” dengan imej ibu rumah tangga seperti yang sebutkan di atas, yang memberi kesan bodoh. Apakah ibu-ibu yang waktunya lebih banyak di rumah tidak bisa mengaktualisasikan dirinya sesuai pendidikan, kemampuan dan keahliannya? Apakah ibu rumah tangga hanya berkutat dengan urusan dapur-perut-rumah-anak saja? Padahal di negeri tercinta ini, ibu rumah tangga masih merupakan profesi dengan prosentase yang cukup besar, jadi juga sama-sama memegang peranan dalam masyarakat.

Esensi dari seorang ibu rumah tangga atau bahasa kerennya Full time Mother, adalah bagaimana seorang ibu berusaha “sepenuhnya” mendedikasikan waktunya untuk keluarga. Sepenuhnya bukan berarti seluruh denyut kehidupannya adalah untuk keluarga saja, tapi juga ada kesimbangan antara kebutuhan ibu sebagai diri pribadi, yang butuh aktualisasi, butuh belajar/menuntut ilmu, menekuni hobi, dst, dengan memenuhi kewajibannya sebagai ibu. Nah lho, bingung gak?

Isma’il Raji A-Faruqi berkata: “Karier sebagai ibu rumah tangga menuntut pendidikan yang sama atau malah lebih dibanding karier apa pun di luar rumah. Karena karier mulia ini bersangkutan dengan tugas merawat manusia, tua dan muda, dan ini adalah pekerjaan yang paling sulit di dunia.”

Sebenernya kalau dilihat-liat lagi, para ibu rumah tangga itu sendirilah (secara sadar gak sadar) telah membiarkan dirinya menjadi seperti stereotif media. Ibu membiarkan penampilan dirinya asal2an, malas belajar dan meng-upgrade dirinya. Lebih senang menghabiskan waktu luang dengan bersantai-santai, menonton tv sampai ngerumpi. Akhirnya karena pola tsb dibiarkan berulang sehingga menjadi kebiasaan. Karena terjebak rutinitas tsb, Ibu menjadi “lupa” bahwa sebagai seorang ibu, istri dan menjadi wanita seutuhnya membutuhkan proses belajar yang berkesinambungan (Long Life Learning).

Belajar disini, bukan sekedar belajar dalam pendidikan formal, tapi belajar dalam konteks “memperkaya” diri kita, baik secara spiritual, intelektual dan perbaikan tingkahlaku. Bagaimana kita dapat senantiasa menambah wawasan dengan banyak membaca, menambah ketrampilan/keahlian dengan mengikuti kursus, sekolah lanjutan atau pun belajar otodidak. Kita bisa belajar dari apa yang terjadi pada diri kita maupun mengambil hikmah dari pengalaman oranglain. Dan yang lebih penting adalah bagaimana kita belajar dari kehidupan itu sendiri, belajar dalam proses kita menjadi seorang wanita, menjadi istri, menjadi seorang ibu, belajar untuk mengenali diri kita sehingga kita tahu apa potensi terpendam kita.

Dalam suatu episode Oprah Show, Oprah mengajak kita melihat beberapa ibu rumah tangga yang menjadi milyuner karena memahami potensi dirinya dan pandai melihat peluang. Mereka menjadi pebisnis sukses yang berawal dari rumah. Sambil mengembangkan usahanya, para ibu itu tetap dapat mengurus anak2nya dengan baik. Dalam episode Oprah lainnya, seorang ibu rumah tangga dengan 8 anak sukses menggunakan metode homeschooling, tanpa ilmu dan wawasan yang luas mustahil ibu itu mampu menjadi guru anak2nya. Ada juga ibu2 yang begitu kreatif, di sela2 menunggu waktu anak pulang sekolah, ia membuat hiasan bantal, tas, dll dan omset penjualannya cukup fantastis. Ada ibu yang total menjadi full time mother, setelah anak2nya cukup besar, ia kembali berkarier, membuat buku tentang pengalamannya menjadi ibu dan sukses menjadi pembicara di berbagai event. Ada juga ibu yang rutinitas mengantar-jemput anaknya mengilhami bisnis antar jemput, akhirnya dengan tambahan beberapa mobil, kliennya bisa mencapai ratusan anak. Dan sebenarnya masih banyak lagi cerita kesuksesan para ibu rumah tangga yang mampu memanfaatkan potensi dirinya dan peluang yang ada. Menjadi ibu rumahtangga bukannya semakin terperosok dalam kestagnanan. Begitu banyaknya yang dapat kita lakukan jika kita “mau” bergerak. (END)

(Home Sweet Home, 19 Juli 2007)
Dari seseorang yg sdg belajar menjadi ibu...