Jika ada banyak hal yang mempesona di dunia ini, salah satunya tentulah dunia anak. Di dunia itu segala keajaiban mungkin saja terjadi, dengan daya imajinasi, eksplorasi dan kreatifitas anak-anak yang selalu saja membuat kita terkaget-kaget.
Suatu hari, usai menonton tivi, anak-anak bisa saja membayangkan atau merencanakan pertunjukan meloncat dari balkon lantai dua. Persis seperti adegan yang baru saja ia lihat di layar persegi. Ia begitu asyiknya menikmati peran dalam khayalnya, dengan sigap mencari akal untuk bisa naik ke atas lemari pakaiannya, menarik sebuah kursi dan mulai memanjat. Sang anak berhasil berdiri di atas lemari mininya, ia bahagia. Tiba-tiba sang ibu muncul, wajahnya merah padam, dengan paniknya diturunkan sang anak dari atas lemari sambil terus mengomel, memarahi anak betapa bahayanya ia jika jatuh dari atas lemari dengan ketinggian satu meter itu. Kepanikan sang ibu menghilangkan dengan sekejap kebahagiaan sang anak, yang akhirnya merespon dengan menangis keras. Entah karena kecewa, takut atau marah pada sang ibu.
Contoh di atas adalah salah satu sikap kita para ibu yang seringkali panik dan tidak sabar dalam melihat polah anak yang “ada-ada” saja, padahal jika kita melihat dari sisi lain dan menghadapinya dengan tenang, mungkin respon yang keluar dari sang anak akan berbeda. Saat melihat kejadian itu, ibu dapat mengucapkan: “Masya Allah, astagfirullahal azhiim (dengan nada ramah tentunya). Adek, turun dulu ya… (lalu mulai menurunkan anak dengan sepengetahuannya). Lalu setelah anak duduk, ibu mulai menjelaskan anak apa bahaya bermain atau meloncat dari atas lemari dengan bahasa sederhana dan tidak dengan nada tinggi/marah. Lalu ajak anak bermain permainan lain yang tidak berbahaya, sehingga fokus anak menjadi teralih pada hal lain.
Kita mungkin bisa bersabar saat antri di loket, atau saat menunggu acara kesayangan kita di tivi, tapi kita seringkali tidak bisa mentolerir “kenakalan” anak. Padahal anak-anak tidak nakal. Mereka hanya punya segudang ide, imajinasi, kreatifitas dan daya eksplorasi dengan energi yang seakan tak ada habisnya itu.
Suatu hari, saya mengajak putri saya yang berusia 2 tahun untuk tidur siang. Entah karena kelelahan atau memang mengantuk, saat menemaninya saya malah tertidur lebih dulu, sedangkan putri saya menyadari saya telah tidur, bergegas bangun, mengambil krayon dan asyik mencorat-coret tembok. Saat saya terbangun beberapa waktu kemudian, saya melihat kamar berantakan dengan mainan yang berserakan dimana-mana serta tembok kamar yang telah dicorat-coret, tapi anak saya ternyata telah tidur pulas di samping saya, dengan wajah yang begitu manis.
Saya sebenarnya orang yang sangat tidak suka dengan ruangan yang berantakan tapi sejak memiliki seorang batita rasanya mustahil rumah tetap rapi dan bersih, daripada stres lebih baik mengubah sikap kita. Toh suatu saat anak akan besar, dan rumah pun dapat kembali rapi seperti yang kita inginkan. Alih-alih merasa kesal atas tingkah anak, bukankah lebih baik pandang kelucuan dari sisi anak. Lihatlah kenakalan anak dengan santai.
Biarkan anak menjadi anak, biarkan mereka mengerjakan apa yang sepantasnya dilakukan anak. Jangan bebani anak untuk menuruti apa pun yang kita inginkan. Biarkan mereka bermain secara alami, kita hanya membantu mengawasinya dari bahaya karena ketidaktahuannya, serta mendampinginya menikmati masa kecil yang bahagia. Sikap memahami dan menerima dunia anak akan mempermudah kita untuk selalu bersabar. Jangan berharap terlalu tinggi pada anak, selain dapat membuat anak stres, Ibu pun semakin stres jika anak tidak seperti yang diharapkan.
Dunia anak memang terkadang sulit dimengerti orang dewasa. Kita tidak bisa memaksakan daya pikir orang dewasa masuk dalam dunia mereka. Biarlah mereka menikmati dunia anak-anak yang polos dan tulus.
Walau pun begitu, anak-anak pun dapat “menguasai” orang tua, mereka dapat mendominasi waktu dan membuat kita tidak berdaya. Anak-anak pun sangat senang mencari perhatian orang tuanya. Dan mereka juga sangat pandai “menemukan titik lemah” kita. Bagaimana pun juga kontrol/ kendali tetap di tangan orang tua, terlalu menuruti apa pun keinginan mereka dapat menjadikan mereka anak yang manja dan serba ingin dituruti kemauannya. Anak yang menangis ketika meminta sesuatu, dan untuk meredakan tangisnya orang tua mengabulkan permintaan anak. Maka ia akan belajar menggunakan tangisannya sebagai senjata untuk memenuhi keinginannya. Saat mereka berbuat negatif, jangan berlebihan memberinya perhatian/ kritikan. Anak akan mengambil kesimpulan lebih baik dimarahi daripada tidak diperhatikan.
Memang menghadapi anak-anak, orang tua perlu memiliki ilmu dan wawasan. Apalagi setiap anak punya karakter masing-masing, polah si kakak bisa berbeda dengan si adik, sehingga penanganan setiap anak juga berbeda. Mendampingi anak tumbuh optimal tentu menguras energi kita. Hanya keikhlasan yang bisa menumbuhkan energi extra untuk kita, para orang tua. Wallahu’alam…
(Home Sweet Home,31 juli 2007)
Dari seseorang yg sdg belajar mjd ibu…
Suatu hari, usai menonton tivi, anak-anak bisa saja membayangkan atau merencanakan pertunjukan meloncat dari balkon lantai dua. Persis seperti adegan yang baru saja ia lihat di layar persegi. Ia begitu asyiknya menikmati peran dalam khayalnya, dengan sigap mencari akal untuk bisa naik ke atas lemari pakaiannya, menarik sebuah kursi dan mulai memanjat. Sang anak berhasil berdiri di atas lemari mininya, ia bahagia. Tiba-tiba sang ibu muncul, wajahnya merah padam, dengan paniknya diturunkan sang anak dari atas lemari sambil terus mengomel, memarahi anak betapa bahayanya ia jika jatuh dari atas lemari dengan ketinggian satu meter itu. Kepanikan sang ibu menghilangkan dengan sekejap kebahagiaan sang anak, yang akhirnya merespon dengan menangis keras. Entah karena kecewa, takut atau marah pada sang ibu.
Contoh di atas adalah salah satu sikap kita para ibu yang seringkali panik dan tidak sabar dalam melihat polah anak yang “ada-ada” saja, padahal jika kita melihat dari sisi lain dan menghadapinya dengan tenang, mungkin respon yang keluar dari sang anak akan berbeda. Saat melihat kejadian itu, ibu dapat mengucapkan: “Masya Allah, astagfirullahal azhiim (dengan nada ramah tentunya). Adek, turun dulu ya… (lalu mulai menurunkan anak dengan sepengetahuannya). Lalu setelah anak duduk, ibu mulai menjelaskan anak apa bahaya bermain atau meloncat dari atas lemari dengan bahasa sederhana dan tidak dengan nada tinggi/marah. Lalu ajak anak bermain permainan lain yang tidak berbahaya, sehingga fokus anak menjadi teralih pada hal lain.
Kita mungkin bisa bersabar saat antri di loket, atau saat menunggu acara kesayangan kita di tivi, tapi kita seringkali tidak bisa mentolerir “kenakalan” anak. Padahal anak-anak tidak nakal. Mereka hanya punya segudang ide, imajinasi, kreatifitas dan daya eksplorasi dengan energi yang seakan tak ada habisnya itu.
Suatu hari, saya mengajak putri saya yang berusia 2 tahun untuk tidur siang. Entah karena kelelahan atau memang mengantuk, saat menemaninya saya malah tertidur lebih dulu, sedangkan putri saya menyadari saya telah tidur, bergegas bangun, mengambil krayon dan asyik mencorat-coret tembok. Saat saya terbangun beberapa waktu kemudian, saya melihat kamar berantakan dengan mainan yang berserakan dimana-mana serta tembok kamar yang telah dicorat-coret, tapi anak saya ternyata telah tidur pulas di samping saya, dengan wajah yang begitu manis.
Saya sebenarnya orang yang sangat tidak suka dengan ruangan yang berantakan tapi sejak memiliki seorang batita rasanya mustahil rumah tetap rapi dan bersih, daripada stres lebih baik mengubah sikap kita. Toh suatu saat anak akan besar, dan rumah pun dapat kembali rapi seperti yang kita inginkan. Alih-alih merasa kesal atas tingkah anak, bukankah lebih baik pandang kelucuan dari sisi anak. Lihatlah kenakalan anak dengan santai.
Biarkan anak menjadi anak, biarkan mereka mengerjakan apa yang sepantasnya dilakukan anak. Jangan bebani anak untuk menuruti apa pun yang kita inginkan. Biarkan mereka bermain secara alami, kita hanya membantu mengawasinya dari bahaya karena ketidaktahuannya, serta mendampinginya menikmati masa kecil yang bahagia. Sikap memahami dan menerima dunia anak akan mempermudah kita untuk selalu bersabar. Jangan berharap terlalu tinggi pada anak, selain dapat membuat anak stres, Ibu pun semakin stres jika anak tidak seperti yang diharapkan.
Dunia anak memang terkadang sulit dimengerti orang dewasa. Kita tidak bisa memaksakan daya pikir orang dewasa masuk dalam dunia mereka. Biarlah mereka menikmati dunia anak-anak yang polos dan tulus.
Walau pun begitu, anak-anak pun dapat “menguasai” orang tua, mereka dapat mendominasi waktu dan membuat kita tidak berdaya. Anak-anak pun sangat senang mencari perhatian orang tuanya. Dan mereka juga sangat pandai “menemukan titik lemah” kita. Bagaimana pun juga kontrol/ kendali tetap di tangan orang tua, terlalu menuruti apa pun keinginan mereka dapat menjadikan mereka anak yang manja dan serba ingin dituruti kemauannya. Anak yang menangis ketika meminta sesuatu, dan untuk meredakan tangisnya orang tua mengabulkan permintaan anak. Maka ia akan belajar menggunakan tangisannya sebagai senjata untuk memenuhi keinginannya. Saat mereka berbuat negatif, jangan berlebihan memberinya perhatian/ kritikan. Anak akan mengambil kesimpulan lebih baik dimarahi daripada tidak diperhatikan.
Memang menghadapi anak-anak, orang tua perlu memiliki ilmu dan wawasan. Apalagi setiap anak punya karakter masing-masing, polah si kakak bisa berbeda dengan si adik, sehingga penanganan setiap anak juga berbeda. Mendampingi anak tumbuh optimal tentu menguras energi kita. Hanya keikhlasan yang bisa menumbuhkan energi extra untuk kita, para orang tua. Wallahu’alam…
(Home Sweet Home,31 juli 2007)
Dari seseorang yg sdg belajar mjd ibu…
1 comment:
Post a Comment